Thursday, March 6, 2008

KAFE

.
Kinnar memencet lagi tombol di telepon genggamnya. Mungkin ini sudah lebih dari yang ke sepuluh kalinya. Jawaban yang terdengar masih saja sama. "Nomor yang anda panggil sedang sibuk.. Cobalah beb..". Klik. Segera ia matikan.

Lama sekali sih dia menelepon?

Tak tenang ia mencari-cari gelombang radio di mobilnya. Tak ada yang disukainya. Tak ada yang ia mau dengar. Lalu dipencetnya tombol power saat berhenti di lampu merah. Ia tidak sedang kesal atau cemburu. Tidak lagi. Namun dia belum juga terbiasa dengan situasi ini. Dan tubuhnya memilih untuk gelisah sebagai reaksinya, meski kemudian ia diam menerawang mengingat pertemuan makan malam di kafe yang indah sore tadi.

"Jadi kamu baru kesini bersama perempuanmu?"

"Sudah agak lama, waktu kafe ini baru dibuka. Setelah itu aku berpikir untuk mengajak kamu makan disini. Aku ingin kamu juga merasakan suasana nyaman di kafe ini. Bersamaku."

"Gila kamu Rey! Kamu suruh aku datang di tempat kamu pacaran? Dan kau pikir aku bakal menikmatinya??"

"Sudahlah! Nggak bosan kamu mikirin cemburu? Kenapa nggak kita nikmati saja tempat ini. Sekarang ini. Nikmati saja seolah-olah tak akan terulang lagi. Siapa tahu toh? Siapa tahu setelah ini kamu benar-benar bisa konsisten dengan kata-katamu sendiri."

Kinnar menghela nafas. Meski tak tahan dia membayangkan Rey makan malam disini bersama pacarnya, namun semua yang dia bilang adalah benar. Apa gunanya bertengkar lagi? Aku capek. Engkau juga. Sementara semua terus berjalan tanpa ada yang bisa menunda apalagi mencegah. Disandarkan kepalanya di bahu Rey. Segera Rey menggenggam tangannya yang mulus putih dan lunglai. Lalu rasa pedih itu datang lagi di hatinya.

"Kau juga menggenggam tangannya Rey?"

"Hssh.. lihat bulan terang di antara daun-daun itu Kin.. Indah sekali ya.. Jangan lupa juga kau perhatikan tempat ini baik-baik. Lantainya yang bermodel papan catur, dindingnya yang maroon, lampu-lampunya, hiasannya, semuanya.. Karena kita akan mengenangnya selama mungkin."

"Ah, tempat ini hanya indah karena ada kamu Rey. Cuma sayang aku bukan yang pertama kau bawa ke sini. Ada rasa mengganjal yang nggak mau hilang."

"Suatu saat kita akan menemui kafe ini lagi. Aku berharap kamu ingat malam ini. Malam perdamaian. Bukan karena ada kesepakatan, hanya karena sama-sama capek.. hahaha.."

"Kok ketawa sih?"

"Memangnya kamu masih mau menangis? Nanti di jalan menuju pulang kau boleh menangis lagi sepuasmu. Sekarang temani aku tertawa. Karena aku nggak bisa lagi menemanimu menangis.. hahaha.."

Kinnar tersenyum. Ditempelkan wajahnya di punggung lelaki itu. Ah, bau yang khas.. Membangkitkan gairah dan kenangan. Apakah kau juga mengenali dan merindukan aroma tubuhku Rey?


******


Kinnar kembali memencet telponnya. Tak perlu menunggu lama untuk kembali mendengar jawaban yang masih itu-itu saja, menandakan pemilik nomor telepon yang dituju masih berbicara.

Lama benar kalian berbicara. Apa saja yang kalian diskusikan?

Ia menyerah. Sambil terus mewaspadai jalanan yang lengang malam ini, tangan kirinya menghapus semua sisa-sisa jejak pesan dan panggilan di teleponnya. Lalu ia lempar di jok mobil di sampingnya.

Sudah cukup lama ia mengenal Rey. Lebih dari tiga tahun. Setahun sebelum ia menikahi Noel, pacarnya selama hampir delapan tahun. Dan sebagaimana tidak ada seorangpun di antara mereka berdua -- Kinnar dan Rey -- yang mengaku memulai, tak ada pula yang mau menghentikan. Mereka saling jatuh cinta dan tak segan mengumbar rasa. Begitu indah walau Kinnar menganggap semua itu sekedar kenikmatan maya sebelum ia menghidupi dunia nyata bersama Noel, lelaki yang ia percaya sungguh sebagai jodohnya. Yang meski tak lagi berkobar cintanya, namun rasa sayang dan keyakinan kuat mendorongnya untuk tak akan menjatuhkan pilihan kepada orang lain lagi. Saat menjelang hari pernikahan, ia berpamitan kepada Rey. Ia tahu Rey menahan emosi. Ia tahu sakit hatinya. Aku sedih juga Rey. Tapi aku tahu jalan hidupku. Dan aku yakin kau tak akan menghalangiku..

Kinnar menjalani hari-hari bahagia bersama Noel. Tapi ternyata masa lalu tak bisa tuntas ditinggalkannya. Sesekali, ia meminta Rey menemuinya di kafe-kafe indah yang pernah dia singgahi bersama teman-teman kantornya. Kafe memang selalu punya nuansa sendiri. Ia menawarkan rumah bagi letupan-letupan hati yang sedang membuncah. Pasangan-pasangan dengan berbagai problematikanya, berkumpul dalam ruang publik yang ditata sedemikian rupa untuk menghadirkan kenyamanan privat. Dan suasana yang melarutkan itu kadang memabukkan Kinnar untuk mengikuti ajakan Rey melanjutkan sisa senja..

Ah, betapa lengkapnya hidup. Keluarga bahagia.. dan lelaki gagah yang selalu siap menemani berpetualang..

Begitulah. Meski tak terlalu sering, bahkan kesibukan kadang membuatnya sejenak melupakan Rey, namun pertemuan-pertemuan itu tak pernah berhenti. Apalagi jika ada kafe baru, segera Kinnar mengirim pesan singkat kepada Rey. Dan lelaki itu pasti punya waktu untuknya. Sampai akhirnya beberapa bulan lalu di suatu kafe yang sudah beberapa kali mereka kunjungi, ia tak sengaja membaca pesan mesra di handphone Rey, saat lelaki itu sedang ke kamar kecil. Darahnya mendidih. Hampir ia banting handphone itu di hadapannya.

"Jadi kamu lagi pacaran Rey?? Kenapa nggak bilang aku?!?! Dari dulu aku selalu pesan ke kamu. Beri tahu aku kalau kamu sudah punya pacar!! Aku nggak akan ganggu kamu lagi!!"

"Ya itulah gara-garanya Kin.. Aku belum siap kehilangan kamu.."

"Trus apa maumu?!?! Kau mau dapetin dua-duanya?! Keterlaluan kamu Rey.."

"Hei! Lihat dirimu sendiri Kin! Aku tahu kamu kaget. Aku juga tahu perasaanmu karena aku yang biasanya di situ. Tapi kamu juga harus bisa melihat kenyataan kita selama ini dong.."

Kinnar terdiam. Dadanya terasa perih. Ia mau menangis namun sekuatnya ia tahan.

"Kamu mencintainya, Rey?"

"Kamu nggak mau aku bohong kan Kin? Iya. Kita akan segera menikah."

Kinnar menyambar tasnya dan bergegas menuju mobil. Ia menguatkan tekad untuk tak akan berhenti meski Rey menahan. Tetapi ternyata Rey membiarkannya. Ok Rey, jangan harap aku menghubungimu lagi..


******


Beberapa lampu merah lagi, Kinnar akan sampai di gerbang kompleks perumahannya. Diambil lagi telepon genggamnya. Dengan cepat jarinya sudah berada di tombol yang tepat. Tetapi ia mengurungkan niatnya. Aku sudah lelah, kamu juga Rey. Dan pertemuan sore tadi di kafe romantis yang pertama kalinya kau pilihkan untuk kita, sudah terlalu indah untuk dirusak lagi dengan kemarahan dan kecemburuan. Dulu ia memang tak tahan untuk melanggar janjinya sendiri. Ia menghubungi Rey. Setelah merenung berhari-hari, ia nyatakan pada lelaki itu betapa ia baru sadar kalau ia begitu mencintainya. Rey memeluknya. Rapat dan lama. Namun pernyataan cintanya, bahkan tangisan cemburu dan amarahnya dalam rentetan hari-hari kemudian, tak juga membuat keadaan berubah. Rey tetap pada rencananya, meski ia selalu menemuinya setiap Kinnar meminta, dan lelaki itu tak pernah mau membicarakan calon istrinya.


******


Setiba di rumah, Kinnar meletakkan tas dan kunci mobil di kursi ruang tamu. Dilihatnya Noel sedang santai membaca koran. Ia hanya berani menengok sekilas.

"Bagaimana rapatnya Nar?"

"Yaah.. Biasa lah.. Urusan kantor nggak akan pernah nggak ruwet.. "

"Eh, Nar.. Aku usul ya.. Bagaimana kalau malam minggu nanti kita makan di kafe baru dekat kantormu? Kata temanku tempatnya romantis banget. Kamu bisa melupakan sebentar suntukmu, dan rasanya sudah lama sekali kita nggak ngobrol nih.."

Kinnar tercekat. Sejenak berhenti bernafas diserang kecemasan yang cepat menjalar. Tapi dilihatnya Noel berbicara apa adanya dan sambil tersenyum hangat. Kinnar lalu ikut tersenyum. Dan entah karena senyum Noel, atau senyumnya sendiri, hatinya perlahan ikut menghangat..